Ternyata Skandal JICT di Pelindo, Lebih Serem dari Centurygate Bank Century


Beritateratas.comMengerikan, skandal perpanjangan kontrak JICT (Jakarta International Container Terminal) di awal pemerintahan Joko Widodo, lebih dahsyat ketimbang skandal Bank Century. Potensi kerugian negara Rp 30 triliun.
Tak sedang bercanda, Anggota Pansus Pelindo II DPR, Sukur Nababan bilang, perpanjangan kontrak JICT yang diberikan Pelindo II kepada HPH (Hutchison Port Holdings), merupakan skandal besar dalam sejarah Indonesia. "Ini jelas perampokan. Ini skandal yang lebih dahsyat dari Centurygate," tegas Sukur kepada wartawan di Jakarta, Jumat (20/11/2015).
Selanjutnya, politisi PDIP ini memaparkan sejumlah keganjilan dari proses perpanjangan kontrak. Pada kontrak I, Pelindo II menetapkan HPH, perusahaan milik Taipan Hong Kong, Li Ka-shing itu, menjadi operator JICT periode 1999-2019.
Dalam kontrak pertama, Pelindo II berhak atas royalti sebesar 15% dari pendapatan. Sementara, HPH berhak atas technical knowhow sebesar 14,08% dikalikan laba setelah dikurangi pajak (laba bersih).
"Saat kontrak pertama, komposisi sahamnya, Pelindo II 48,9 persen, HPH 51 persen dan kopegmar (koperasi pegawai maritim) 0,1 persen," terang Sukur.
Alih-alih menunggu masa kontrak habis, Dirut Pelindo II RJ Lino justru meneken perpanjangan kontrak HPH pada 2014. Padahal, kontraknya baru rampung pada 2019. Terdapat sejumlah kesepakatan baru yang mengundang kecurigaan.
Ya, karena, kontrak kedua meniadakan sistem royalti menjadi sewa (rent) untuk Pelindo II senilai US$ 85 juta per tahun. selain itu, jatah HPH atas technical knowhow 14,08% dari laba bersih dihapus. Dan, komposisi andil di JICT bergeser. Di mana Pelindo II berhak atas 51% saham dan HPH 49%. "Selama ini, RJ Lino bilang sudah berhasil memberikan keuntungan kepada Pelindo II. Kita melihat justru sebaliknya," papar anak buah Megawati ini.
Disetujuinya kontrak kedua yang merubah sistem royalti menjadi sewa, kata Sukur, berdampak kepada kerugian negara. Yang fatal lagi, pemberian saham JICT sebesar 49% kepada HPH selama 20 tahun, karena bakal habis kontrak 2038. "Kita hitung adanya potensi kerugian negara dari kontrak kedua mencapai Rp 20 sampai Rp 30 triliun," papar anggota Komisi V DPR ini.
Tak hanya itu, Sukur memaparkan sejumlah aturan yang dilangkahi dalam perpanjangan kontrak kedua JICT. Pertama, pasal 344 ayat 22 UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam beleid ini menyatakan bahwa setiap kerjasama atau kontrak bisnis harus mendapat persetujuan (konsesi) dari otoritas pelabuhan.
Asal tahu saja, sebelum adanya UU Pelayaran, Pelindo II menjadi pengendali penuh atas pelabuhan. Artinya, kontrak JICT pertama, sepenuhnya di tangan Pelindo II. Namun, sejak berlakunya UU tentang Pelayaran, wewenang untuk kerjasama bisnis ini dipecah dua. Selain Pelindo II selaku operator pelabuhan, juga ada wewenang Kementerian Perhubungan sebagai regulator pelabuhan.
"Tapi RJ Lino kan selalu bersuara keras. Bahwa, perpanjangan ini sepenuhnya wewenang korporasi (Pelindo II). Padahal, sejak ada UU Pelayaran harus minta persetujuan Kemenhub. Celakanya, itu tidak dilakukan RJ Lino," kata Sukur.
Selain itu, masih menurut Sukur, perpanjangan kontrak JICT jelas melanggar UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara. "Nah kesalahan ini tentunya mengarah kepada penanggung jawab BUMN yakni Menteri BUMN Rini Soemarno," tandasnya.
Belum lagi keberadaan Deutsche Bank (DB) sebagai konsultan keuangan Pelindo II yang menurut Sukur, mencurigakan. Pertama, DB dalam bermitra dengan Pelindo II bertindak sebagai kreditor sekaligus konsultan. "Anehnya lagi, penunjukan DB sebagai konsultan tak disertai dengan kontrak. Dan, banyak keganjilan dalam valuasi yang dilakukan DB," papar Sukur.
Yang paling fatal, kata Sukur, dalam perpanjangan kontrak, HPH menyetorkan dana sekitar US$ 200 juta. Selanjutnya HPH berhak atas 49% saham JICT. Angka US$ 200 juta tersebut ternyata berdasarkan hasil valuasi DB.
"Salah satu komisaris Pelindo II di depan anggota pansus memaparkan kecurigaannya atas hal ini. Selanjutnya dia menunjuk FRI (Financial Research Institute) untuk melakukan valuasi. Hasilnya, dana US$ 200 juta itu terlalu kecil untuk 49 persen saham JICT. Dana sebesar itu setara dengan 25 persen. Jelas ini kejahatan yang sistematis," tegas Sukur.
Dahlan Iskan Pernah Tolak RJ Lino
Ada fakta menarik di balik mengemukanya masalah perpanjangan kontrak JICT. Saat Dahlan Iskan menjabat Menteri BUMN, Dirut Pelindo II RJ Lino disebut sudah menyerahkan permohonan perpanjangan kontrak HPH di JICT.
"Tapi sama Pak Dahlan, surat permohonan RJ Lino tidak ditanggapin. Karena apa, ya mungkin tidak mau terlibat," kata Aria Bima, Anggota Komisi VI DPR.
Tak hanya itu, kata mantan Ketua Komisi VI DPR ini, mantan Menteri Perhubungan EE Mangindaan pernah melayangkan surat kepada Menteri BUMN Dahlan Iskan terkait adanya perpanjangan kontrak JICT. Intinya, Mangindaan keberatan dengan perpanjangan kontrak tersebut.
Lalu bagaimana sikap Menhub Ignasius Jonan? Menurut Aria, layak diapresiasi. Sejauh ini, Menhub Jonan berpatokan dengan surat pendahulunya yakni Menhub EE Mangindaan. bahwa untuk perpanjangan izin JICT, harus benar-benar dikaji.
Aria justru mempertanyakan sikap Menteri BUMN Rini Soemarno yang mengeluarkan izin prinsip perpanjangan kontrak JICT. "Namun setelah pemerintahan berganti dan menterinya (BUMN) juga ganti, perkembangannya jadi begini. Kita ingin, Pansus Pelindo II bisa membuka tabir di perpanjangan kontrak JICT. Perdalam investigasinya agar bisa terang benderang masalah ini," tegas Aria.



- Source: http://konfrontasi.com/content/nasional/skandal-jict-di-pelindo-lebih-serem-dari-centurygate-bank-century#sthash.uRS2xThX.dpuf
loading...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ternyata Skandal JICT di Pelindo, Lebih Serem dari Centurygate Bank Century "

Post a Comment